Mimpi

Ada orang yang punya mimpi begitu jelas. Satu mimpi atau cita-cita yang mereka tahu pasti. Ada juga orang seperti gue: punya banyak mimpi, keinginan, sampai bingung mau mewujudkan yang mana terlebih dahulu.

Contoh orang kategori pertama: teman gw Maya dan Nanien. Ibu Maya ini kepengen banget-banget pergi ke Korea, and guess what? Impiannya sudah terkabul: ikutan exchange ke Korea selama 6 bulan aja loooh. Ibu Nanien juga cita-citanya jelas, masalah kerjaan pengennya di tempat yang happy-happy, koneksi internet sederas hujan bulan November di Kota Bogor supaya bisa mendonlot sesuka hati.

Lalu bagaimana dengan kategori orang kedua seperti gueee???!! Ayo ada lagi nggak yang mimpinya berceceran dan bermacam-macam kaya gue???

Pengen jadi jurnalis, ketemu banyak orang, menceritakan banyak kisah, jadi penulis yang bisa mendidik tanpa harus menggurui.

Dulu: Jaman SMP pengen banget jadi jurnalis karena nonton film Korea, keren gitu lho kayanya nyari-nyari berita. Mimpi ini juga didukung setelah nonton sinetron Dunia Tanpa Koma sama baca wawancaranya Rossy sama Ahmadinejad. KEWL!

Alhasil saya pun masuk komunikasi, belajar jurnalistik. Sampai lulus. Sampai jadi pengangguran dan bersahabat dengan LiNa, si matchmaker yang hobi jodoh-jodohin kita sama lowongan kerja.
Hampir semua lowongan berbau jurnalistik dicoba, ralat, nggak semua juga sih...Awalnya ngincer banget kerja di Trans/ Kompas Gramedia karena punya program untuk anak (kayaknya sebagian diri gue memang nggak pernah tumbuh dewasa deh... hehehe). Tapi... HAMPA. Surat cinta menggantung di tangan HRD, atau udah wawancara terus ga dilirik lagi (apakah karena posturku seperti ibu-ibu? haaaaa! :O).
Sampai akhirnya gue ditelepon sama salah satu grup media bonafid dan ikut proses seleksi. Grup media ini terkenal serius dan seleksinya berat... tetapi dengan modal kejujuran dan juga kecengengesan kok ya akhirnya gue lolos gitu yaaa? Gw juga nggak mengerti kenapa bisa diterima. Apakah mereka bisa melihat keseriusan dan kesungguhan hati di balik tampang cengengesan ini? Atau memang ada posisi yang cocok diisi oleh makhluk-makhluk seperti gue?

Sempat agak bingung mau menerima pekerjaan itu atau nggak, karena pertama... ehm masalah gaji yang pas-pasan kalau harus ngekos dsb, dsb (rumah saya jauh sodaraaaa..). Kedua, ayahanda tercinta yang kayaknya kurang sreg anak sulungnya yang dibesarkan untuk menjadi perempuan lembut ini (iya iya.. saya bisa lihat kalian semua muntah :P) bekerja layaknya romusha. Pertimbangan ketiga tentu saja mengenai kecengengesan saya dan resiko pekerjaan ini. Jelas-jelas ini bukan media tempat kita bisa happy-happy tiap hari. Gue juga pengen punya kehidupan keluarga yang sehat, yang seimbang, bahagia. Kaya kehidupan di  keluarga tempat gue dilahirkan. Jadi jurnalis rasanya nggak bisa menjanjikan itu.

Eh, tiba-tiba LiNa mengumumkan ada lowongan Reporter anak di Kompas Gramedia. Sungguh menggoda karena gue cinta banget sama dunia anak. Sampai sekarang pun gue masih setia membaca majalah Bobo setiap minggu, dan masih ingat betul gimana membaca itu membuat gue tahu lebih banyak dari teman-teman SD gue dulu. I LOVE BOBO! Hip hip huraaaa! Reporter anak itu buat gue pekerjaan yang mulia, karena bisa mendidik anak-anak dengan cara yang menyenangkan.

Kerja di majalah anak-anak gitu juga kayaknya lebih fleksibel buat perempuan... topiknya menyenangkan, kerjaannya nggak berbahaya. Masih punya waktu juga untuk keluarga.... Pokoknya hari itu gw hampir mantap memilih menolak pekerjaan sebagai reporter yang sudah gue dapatkan untuk mencoba peruntungan menjadi reporter anak.

Ceritanya sih mantap... tapi kok gw nggak kunjung mantap untuk menelepon mbak HRD dan menyampaikan penolakan ke media itu ya?

Timbul lagi pertanyaan: "Bener nih nggak mau nyoba jadi reporter hard core dulu? Di situ juga ada bagian sosial budayanya lhoo" begitu kata hati kecil gw.

Akhirnya gue memutuskan menerima pekerjaan itu dengan bismillah dan segala doa-doa. Tujuannya untuk belajar, mendapat pengalaman. Gue nggak mau suatu hari nanti merasa berhutang pada diri gue sendiri karena terlalu takut keluar dari zona aman. Salah nggak kalau gue bilang gw menerima pekerjaan ini atas dasar ingin tahu, karena tidak mencoba itu artinya kalah sebelum berperang? Masalahnya kesempatan seperti ini belum tentu datang dua kali. Kalau gue lepas sekarang, bukan nggak mungkin gue akan selamanya penasaran. Gue nggak mau suatu saat nanti, saat gue sudah berkeluarga dan tidak bebas memilih karena tanggung jawab sebagai istri dan ibu membatasi langkah gue, gue membatin: "gimana yaa rasanya jadi jurnalis?". Kalau pertanyaan itu timbul karena saat ini gue terlalu takut mengambil resiko, gue nggak mau itu terjadi. Gue nggak mau punya rasa penasaran yang dibawa sampai mati. hiiiiii....

Lagipula pekerjaan ini pun gue dapat dengan dukungan doa. Gue selalu minta supaya Allah mempertimbangkan kemampuan dan cita-cita gue yang lain.
"Jika kuat dan membawa ke kehidupan yang gue mau (bukan semata karier, tapi termasuk kebahagiaan gue sebagai manusia), maka berilah saya kesempatan, tapi kalau saya tidak kuat dan pekerjaan ini tidak membawa pada kehidupan yang baik, lebih baik jangan." Begitu....

Gue jadi mikir, kalau kemudian gue ketakutan dan memilih mundur, bukankah itu ingkar dengan keputusan-Nya?


Pada akhirnya gue membuat keputusan, jadi jurnalis anak bisa menunggu. Itu kotak aman gue. Kalau gue masuk media anak pasti gue akan merasa nyaman dan terlena, nggak mau nyoba yang lain lagi. Sementara kesempatan ini mengizinkan gue untuk menjelajah. Well, kalaupun ternyata nggak suka dan nggak sreg, selalu ada jalan untuk pulang kan? Lagipula gue masih bisa merintis jalan untuk kerja di media untuk anak dengan jadi penulis lepas atau mengirim cerpen anak-anak, kok. Setuju ga?

Benar nggak sih bahwa kita harus berani keluar dari kotak nyaman kita supaya bisa jadi orang yang lebih baik?
Gue nggak akan bicara soal passion di sini, karena keduanya (jadi jurnalis & jurnalis anak) sama-sama mimpi gue. Ini soal yang mana yang harus diwujudkan duluan.
Atau jangan-jangan gue cuma gadis kebingungan yang tersesat dalam mimpi-mimpinya sendiri??? Hiiii. Ngeri. 


Tolong saya teman-teman >.<

Komentar

  1. i was in your position last month. very confusing indeed. galau tingkat paling akut. tapi keputusan gw sama kayak lo, Nggie. dengan alasan yang sama juga: nyari pengalaman.
    toh masih fresh grad, kalo bisa jangan money oriented-lah, jangan blagu istilah kasarnya, rasain dulu kejamnya dunia, baru senang2, hehehe.
    good luck ya, Nggie!
    argh! ngiri gw! lo sekantor sama ndorokakung ya?! :p

    BalasHapus
  2. betul nggi skrg lo nikmatin aja dulu kebebasan sblm nanti terkekang suami dan anak ga bisa nyoba kerja2 diluar batas. hahahaa
    dan coba liat deh banyak dosen kita dan jurnalis sukses lainnya berawal dr tempat lo. Insya Allah itu tempat buka peluang dan pengalaman yang besar buat lo,nggi.
    klo mikirin masalah duit, gw saranin narsum2 lo yang "papan atas" itu lo gaet aja. hahahaa.
    anyway busway, nama gw di mention bgt ya. bahahhaa. padahal mimpi gw ceteks buat ktemu idol di korea XDDD

    BalasHapus
  3. *Baru baca*
    Gue setuju ama pilihan lo Nggi, kalau gue ada di posisi lo. Gue akan cari pengalaman sebanyak-banyaknya karena someday, gue akan quit dan stop jadi cungpret. Selain pengalaman, kita jg bisa nyari koneksi dan perbanyak link.
    Kenapa gue nrima kerjaan gue sekarang? Karena kalau nurutin apa yang gue mau gue nggak bakal hidup nggi *yg gue mau bukan kerja di majalah ya. Yg gue mau banget gue 100% writer dan ngk jd cungpret di media manapun*. Tp skrg gue butuh sokongan untuk gue bisa bertahan hidup.
    Nikmati aja sampai lo berada di titik jenuh dan lo yakin bahwa it's enough, baru lo masuk ke zona nyaman lo.

    Semangat Anggi.

    BalasHapus
  4. Heeem... Hai anggi cantik, tetap semangat utk apapun yg dipilih.. Tp pertimbangan utk "mencari pengalaman" jg harus dipikirkan utk smpe kapan ya cantik.. Atur saja, I know you can do it..

    BalasHapus
  5. Oiya, ngomong2 jd penasaran loe skrng akhirnya menjadi jurnalis dimana,hehehe... Ketinggalan informasi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer