Ketika Duka Rasanya Terlarang
Pandemi ini membuat saya berkaca. Semakin hari, ketika semakin banyak berita kehilangan yang datang dari kawan dan kerabat terdekat, saya jadi berpikir:
Ketika orang berduka karena orang terdekatnya meninggal dunia,
orang ramai-ramai mengirimkan doa. Doa agar Almarhum mendapat tempat terbaik di
sisi-Nya. Doa supaya keluarga yang ditinggalkan senantiasa diberi kekuatan.
Klise, tapi tentu bermakna.
Kemudian saya bertanya lagi dalam hati:
Jika kita kehilangan, namun bukan karena yang bersangkutan
meninggal dunia, kemudian bagaimana?
Bukan saya mau mengecilkan arti kehilangan orang-orang yang
meninggal dunia, sama sekali tidak. Duka bukanlah lomba yang patut dibandingkan siapa yang lebih sedih, siapa yang lebih sengsara.
Hanya saja bagi saya ini anomali. Orang yang meninggal,
hanya bisa ditolong oleh doa anak-anaknya yang soleh; sedekahnya ketika hidup;
dan ilmunya yang bermanfaat. Sebaliknya,
dalam kasus kedua mereka lebih perlu doa dari orang banyak agar lebih besar
probabilitasnya dikabulkan Tuhan. Tapi, orang-orang nahas di kelompok kedua ini
jarang bisa bercerita tentang dukanya karena umumnya cerita ini dianggap aib.
Tak banyak orang yang bisa kami beri tahu. Jadi hanya segelintir orang yang
mendoakan kami, serta dia yang memilih pergi.
Saya merasakan sendiri bagaimana rasanya hidup bersama duka yang tak tuntas dan selalu menjadi bayang-bayang.
Pertengahan tahun lalu saya kehilangan orang yang sebelumnya
sangat saya sayangi dan hormati. Beliau masih ada di dunia ini, namun jiwanya
seakan berganti. Bukan hanya menjadi orang asing, tapi juga menyakiti kami yang
ditinggalkannya pergi.
Sampai saat ini, satu tahun kemudian dan 2.000 kilometer
jauhnya dari rumah, luka itu belum juga sembuh.
Mungkin karena saya tidak pernah benar-benar sempat berduka.
Mungkin karena kehilangan kami tak dikubur dengan bongkahan
tanah, tapi terus saja terbuka dan menganga.
Kehilangan kami tidak menyisakan kenangan-kenangan manis
untuk dikenang. Sebaliknya saya jadi kehilangan kenangan sama sekali.
Ternyata otak manusia tidak diciptakan untuk memilah kenangan
baik dan buruk, kemudian hanya membuang yang tak diinginkan. Ketika saya berusaha
menghapus duka, kenangan baik juga ikut sirna.
Ketika keluarga saya berduka, saya memaksakan diri tetap
berfungsi karena tidak punya pilihan lain lagi.
Tak lama kemudian saya berangkat ke luar negeri untuk sekolah.
Sembari tetap bekerja karena saya tak bisa melepas tanggung jawab finansial
keluarga begitu saja.
Satu tahun kemudian, baru saya menyadari saya tidak pernah punya
kesempatan untuk berduka dengan layak. Satu tahun lalu, saya berusaha
menguatkan diri agar kami semua tak tenggelam bersamaan, berharap akan datang
hari ketika keluarga saya punya kekuatan dan saya akhirnya bisa berbalik menjadi
orang yang sesekali mereka lindungi.
Sampai saat ini hari itu belum juga datang. Bahkan saat saya
sudah berulang kali memohon pertolongan.
Pantas saja.
Ada hari-hari di mana saya bisa berfungsi dan mengisi hari
dengan berbagai kegiatan: Bangun tidur, mandi, makan, pergi ke kampus, bekerja,
belajar untuk ujian, solat, sampai akhirnya tidur lagi.
Ada hari-hari ketika rasanya kepala dan hati saya sedikit
lagi pecah, saking penuhnya. Tapi setidaknya di waktu-waktu seperti itu saya masih
punya tenaga untuk berjalan jauh. Terus dan terus, agar duka itu bisa saya titi
kemudian saya tinggalkan sedikit demi sedikit.
Yang justru paling sulit adalah hari-hari ketika rasanya tidak ada
tenaga sedikitpun untuk bangun dari kasur. Ketika energi saya hanya cukup untuk
memandang langit-langit kamar, atau layar telepon genggam selama berjam-jam,
tanpa arti.
Kalau skenario ketiga ini terjadi, tidak jarang saya
terjebak dalam sirkus menyedihkan. Mencoba berakrobat dari satu kegiatan ke
kegiatan lain, tanpa hasil. Ada masa saya bisa mencoba bekerja selama berjam-jam,
menatap layar yang sama, tanpa hasil apa-apa. Sirkus ini bisa berlangsung satu
hari, tiga hari, seminggu, bahkan lebih. Seperti saat ini.
Sampai akhirnya saya putuskan menuliskan saja semua-walau berat hati-karena siapa
tahu simpul-simpul ini bisa terurai satu demi satu.
Tidak usahlah saya rinci siapa yang pergi dan masalah apa
yang kami hadapi.
Namun kalau boleh, tolong bantu doakan kami. Agar dia yang
pergi selalu dilindungi dan dituntun kembali ke jalan yang Allah ridhoi. Agar
kami sekeluarga yang ditinggalkan juga senantiasa diberi kekuatan. Semua.
Terima kasih :)
Komentar
Posting Komentar