To Wed, or Not to Wed, That is the Question


Photo courtesy of Okezone.com

Jangan heboh duluu…
Mumpung pernikahan Ayang Kahiyang masih trending, saya mau ikut meramaikan tulisan tentang pernikahan. Yang bukan tentang printilan kembang-kembang dan prosesi adatnya. Tapi isu yang lebih menohok buat perempuan umur 20an. #hazik

Disclaimer: di sini saya bukan ingin mempertanyakan keabsahan dan perlunya lembaga pernikahan kok. Saya juga mau banget nikah, apalagi umur segini yhaa. (brb setel lagu Wali. LOL). Judul itu cuma saya plintir dari tulisannya Shakespeare supaya catchy aja. hahaha.

Intinya, seperti mayoritas perempuan lainnya, saya juga memimpikan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warahmah, bersama pria yang saya cintai, dan menjadi ibu dari anak-anak yang soleh. Aamin.

Pertanyaannya, terutama yang saya hadapi sebagai perempuan berusia 20-an akhir di tahun 2017 ini: siapkah saya untuk menikah? Rumah tangga dan keluarga seperti apa yang akan saya bangun? (hahaha. Serius amat nih ya topiknya.)

Jadi, saya cerita dulu ya asal mula munculnya pertanyaan ini. Suatu hari, saya sudah janjian dengan keluarga saya untuk nonton film bareng di bioskop. Jumat malam. Tiket sudah dibeli. Saya buru-buru pulang dengan kereta yang penuhnya minta ampun, demi bisa mengejar jam tayang film itu. Biasanya saya menghindari pulang tenggo di hari Jumat karena macet dan penuhnya kereta bikin senewen. Tapi kali ini sudah kadung janji.

Singkat cerita, ayah saya batal ikut karena menamani temannya dari Solo yang mau nginap demi menghadiri reuni besok di rumah kami. Akhirnya kami nonton, pulang, lalu di jalan mendapat kabar bahwa di rumah ada tambahan tiga orang tamu lagi yang ingin ngobrol santai. (Yang tentu saja bikin saya membatin: bukan kah reuninya tinggal besok? Kok ada tim advance segala? *iya ini agak nyinyir, mohon maaf*)

Mungkin kekecewaan dan kekesalan saya juga dipengaruhi oleh jalanan Jakarta yang sukses membuat perjalanan Jakarta-Bogor dihabiskan dalam waktu tiga jam, padahal sudah naik kereta. Bikin terhempas kalau pinjam istilahnya Princess Syahrini. LOL. Tapi percayalah, yang membuat saya tercekat hingga akhirnya menangis di dapur bukanlah kerasnya Ibu Kota, tapi kelembutan ibu saya.

Ketika mobil masuk garasi, ibu saya terdiam sebentar dan menghela napas panjang, seperti sedang bersiap masuk ruang sidang skripsi.
“Capek ya Mah?” saya bertanya karena tahu beliau habis masak seharian mempersiapkan makanan untuk reuni besok. Bibi sedang pulang kampung. Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh.
Apa jawabannya?
Ibu cuma tersenyum simpul, turun mobil dengan anggun, lalu masuk rumah dengan senyum dan menyapa para tamu dengan ramah. Menawarkan mau makan apa. Memohon maaf karena di rumah tidak ada apa-apa. Sama sekali tidak ada tanda-tanda lelah seperti tadi di mobil. 

*Ini sambutan standar dari tuan rumah yang berlatar belakang Jawa, sudah saya hafal sekali, dan turut saya praktikkan.

Tapi kali ini rasanya saya seperti sedang nonton drama yang dilakoni keluarga sendiri, lantas mengingatkan diri bahwa saya juga salah satu pemeran di situ. Gak boleh kelihatan bete.

Saya masuk, salam pada Ayah dan tamu-tamunya, mencoba tersenyum (yang saya tahu tidak pernah akan bisa menyamai Ibu), kemudian masuk dapur. Menyelesaikan persiapan masakan untuk besok, dengan begitu banyak pertanyaan berseliweran di benak saya, yang akhirnya dilontarkan juga ke Ibu saya.
“Mah, jadi istri itu susah ya?”
Ibu tersenyum simpul.
“Kalau begini caranya, aku gak tahu kapan bakal siap.”
“Iih ga boleh gitu. Emang begini tau,” kemudian Ibu senyum menguatkan.

Bukannya kuat, ujung-ujungnya saya malah nangis dalam diam sambil duduk di samping galon Aqua.



Saya bukan ingin menjelek-jelekkan ayah saya. Sama sekali tidak. Ayah saya termasuk suami juara. Dekat sama anak, pinter masak, tanggung jawab, tapi kalo urusan beberes sih KO (namanya manusia yah tiada yang sempurna. Hahaha).

Saya cuma jadi sadar bahwa bagaimanapun kita masih hidup di lingkungan yang kental sekali budaya patriarkinya. Yang tidak disadari sudah berjalan dan diterima sebagai suatu hal yang normal dan biasa. (Padahal, bukankah lebih praktis ngobrol di luar sambil makan daripada nunggu istri pulang baru beliin makan?)

Tidak ada yang merasa ini salah, kecuali mungkin orang-orang yang pernah belajar tentang gender. Melalui tulisan ini saya memberanikan diri menuliskan apa yang mungkin berada di benak banyak perempuan masa kini, mungkin juga sudah dirasakan perempuan-perempuan di masa Kartini.

Kejadian ini membuat saya betul-betul memikirkan apa itu pernikahan, peran apa yang dimainkan oleh perempuan dan lelaki di sana, sampai ke kesetaraan gender. Haha. Duh lagi demam otaknya malah bekerja ya. LOL.

You know what, sometimes, culture is a bitch. (See, bahkan istilah negatif ini aja merujuk pada istilah untuk perempuan. Just, why?)

Saya sampai berpikir mungkin lebih baik anak sulung itu laki-laki aja, kalau perempuan bakal dilema.

Sebagai anak sulung, saya dididik jadi anak mandiri, harus jadi contoh untuk adik-adik saya. Terlepas sebagai anak sulung, ayah saya mengajarkan anak-anaknya untuk bermimpi sebebas-bebasnya, punya cita-cita setinggi-tingginya, berusaha sekeras yang kita bisa, dan bertanggung jawab pada apa yang sudah kita pilih.
Kira-kira saya tumbuh dengan pola pikir itu, tapi setelah besar, saya menghadapi kenyataan cukup pahit bahwa masyarakat dan kultur kita mungkin belum siap untuk ini.

Saya masih dapat sindiran halus dari beberapa teman saya:
“Ah elo sih Nggi terlalu mandiri, laki-laki itu pengen merasa dibutuhkan.”
“Jangan terlalu keliatan pinter, nanti cowok gak mau.”
“Lo terlalu sibuk kerja kali.”

Semuanya cuma bisa saya jawab dengan geleng-geleng kepala sambil ketawa, “Ya terus gimana dong?”

1. Ya terus gimana dong kalau saya emang biasa mandiri dan dari dulu cuma suka Mulan di antara para Disney Princess? Minta tolong sih boleh, tapi jangan sampai saya ngerepotin orang juga. Masa harus pura-pura manja kalau cowoknya lagi gak bisa bantuin. Life goes on. Urusan harus tetap berjalan. Tapi saya butuh kok lelaki yang bisa jadi tempat saya cerita dan saling menguatkan (#ciee).

2. Ya terus gimana dong kalau cowoknya minderan? Masa demi sama cowok itu saya harus pura-pura bodoh. Padahal saya juga bukan yang pintar-pintar amat. Kalau sampai nikah gimana? Masa saya harus pura-pura bodoh seumur-umur?

3. Ya terus gimana dong kalau pekerjaannya demanding? Kan gak bisa juga gak gue kerjakan.

Tapi saya berusaha banget memberi porsi waktu untuk orang-orang yang saya sayangi dan berarti dalam hidup saya. Beda perkara kalau sudah menikah atau menuju pernikahan nanti, pasti akan ada kompromi dan saya juga bukan tipe yang ngoyo mengejar karir. Saya gak pernah, tuh, bercita-cita jadi pemred, manager, atau direktur. I simply do what I love and matters. Kalau nanti sudah menikah sih saya pasti seneng-senang aja ngurus keluarga. Dari sekarang bahkan mulai mikir pekerjaan apa ya  yang sesuai minat dan keahlian, tapi lebih fleksibel. Jadi freelance writer atau konsultan agaknya oke juga, tapi kan butuh pengalaman & rekam jejak ya. Kalaupun perlu jadi ibu rumah tangga dan gak bekerja ya bisa saja dibicarakan. Tapi kalau sekarang yang perlu diurusnya kan belum ada juga yaa. Kenapa harus ribet dari sekarang? Hahaha.
Ya kalau baru PDKT aja udah langsung mundur, mungkin gak segitu maunya aja sama saya. Belum juga diskusi. Wkwkwk.

Kemudian saya jadi sadar, hubungan, apalagi pernikahan yang tidak seimbang dan membahagiakan, buat saya lebih horor ketimbang film Pengabdi Setan, atau menjomblo. Salah gak?

Bukan lantas saya anti mengerjakan pekerjaan domestik ya. Sama sekali enggak. Saya suka kok masak untuk keluarga. That’s one of my therapy. Liat orang makan masakan kita dengan bahagia itu menyenangkan sekali. Tapi saya juga mau suami yang bersedia bantu megang anak, bantuin cuci piring, yang ridho bantuin cuci baju atau jemur baju. Melayani suami itu berbakti, saya setuju dan melakukan hal seperti itu untuk orang yang kita sayang rasanya pasti menyenangkan. Tapi gak absolut, saling mengerti aja.

Kalau istrinya lagi ada kegiatan lain, bisa lah sesekali cari makan sendiri. Buat saya, urusan cari makan, cuci piring, cuci baju, itu kemampuan dasar manusia untuk hidup, ga usah dibeda-bedakan ini pekerjaan perempuan atau lelaki. Kalau gak bisa mengerjakan hal-hal dasar begini, nanti mati loh.

Saya mau pernikahan di mana suami dan istrinya saling melengkapi, saling mendukung, dan saling membesarkan, bukan saling ketergantungan. 

Family is nurtured. Cinta itu dipelihara dan dijaga supaya tetap menyala.
Udah itu aja yang mau saya sampaikan dalam tulisan yang panjang ini.

Kemudian sekarang saya jadi mempertanyakan juga apakah sebagai perempuan saya ini terlalu banyak maunya? He.


***




P.S: Silakan tonton Because This Life is Our First untuk lihat versi komedi dari potret hidup perempuan masa kini. Kocak, tapi sekaligus penuh kritik sosial yang seringkali bikin kita ketawa, tertohok, dan sedih sendiri sembari membatin "Aduh ini gue banget!" Apalagi tokoh utamanya adalah penulis yang lagi mentok kariernya, hahaha. (Yang mau tanya di mana nontonnya silakan comment ya, hehee)

Serial ini juga yang mengingatkan bahwa buat sebagian perempuan grand gestures itu gak terlalu penting. Seringkali yang kami butuhkan hanya sesederhana orang yang menunggu kita pulang di halte bus atau stasiun, atau menawarkan diri membantu cuci piring setelah acara keluarga. 





Cheers!


*all screen caps are from Dramabeans

Komentar

  1. Berbagi tugas pekerjaan rumah itu keliatannya gampang tapi tricky pas diterapin. Seprinsip deh mbak buat keahlian semacam cuci baju, piring, masak dll itu udah basic life skill yang perlu diasah buat manusia bertahan hidup. Nggak ada alasan buat membebani salah satu aja di kemudian hari nantinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setujuu! Semoga makin banyak yang sepaham ya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer