Macet
Sebastian Vettel atau Michael Schumacher boleh jadi jagoan menyetir jet darat. Kemampuan mereka membuat manuver di tikungan
hingga take over pastinya enggak perlu diragukan. Tapi kalau mereka dicemplungkan
di kemacetan Jakarta, saya nggak yakin mereka mampu bersaing dengan sopir-sopir
bis kota.
Saya membuat tulisan ini di atas bus 213 jurusan
Grogol-Kampung Melayu. Sebagai sesama pengendara, saya angkat topi.
Kemampuan mereka menembus macet itu gila.
Bus yang saya naiki sekarang bisa dengan lincahnya bergerak
di Jalan Sudirman yang malam ini keadaannya mirip es cendol kurang kuah: padat.
Tapi body bus impor dari Jepang yang berukuran besar itu bisa gesit menyelip
dari jalur lambat-ke jalur cepat-ke jalur busway-jalur cepat lagi-lalu kembali
ke jalur lambat.
"Gila," pikir saya.
City car yang digembar-gemborkan berbody singset dan lincah
di dalam kota itu kalah total. Semua masih berbaris rapi di jalurnya. Yah,
beberapa memang ngomel lewat raungan klakson. Tapi toh bis saya tetap
nyelonong. Hehe
Yang terpikir di otak saya cuma satu:
Kota ini sakit. Enggak heran kalau penduduknya
berlomba-lomba kabur, plesir ke kota terdekat kapanpun ada kesempatan. Weekend,
longweekend, libur kejepit, you name it.
Membuat penduduk kota satelit seperti saya makin nelangsa.
Setiap hari kerja di Jakarta kena macet. Libur dan pulang ke Bogor pun tetap
kena macet. Nasib. Makin sedih lagi karena sudah enggak kenal yang namanya
weekend, long weekend atau tanggalan merah (Well, yang ini sih masalah saya
sendiri ya, hehe).
Terus terang aja saya sudah kekenyangan sama macet. Kalau
ngobat mungkin sedikit lagi overdosis.
Bukan apa-apa, tuntutan pekerjaan membuat sebagian besar
waktu habis di jalan. Kalau Anda melakukan perjalanan untuk pergi ke kantor,
buat saya jalanan adalah bagian dari kantor. Jadi macet itu makanan setiap
waktu, hahaha *gigit bantal :S
Makanya saya paling semangat menulis berita tentang
transportasi umum. Lalu ngobrol dengan
pengamat transportasi. Setidaknya ada harapan bahwa kota ini mau berbenah.
Di atas kertas memang kelihatannya ada harapan, tapi kok
setiap hari rasanya makin macet. Perjalanan makin lama. Apa yang salah?
Nih ya, Transjakarta koridor I Blok M-Kota busnya sudah
banyak. Dingin. Nyaman. Cepat.
Salah satu kebahagiaan naik busway di koridor 1 adalah bisa
dadah-dadah sama orang dalam mobil yang mandek di jalanan. "Permisi, saya
duluan ya," rasanya pengen bilang gitu sambil nyengir superlebar karena
bus saya bisa melaju kencang.
Tapi ternyata gak semua orang berpikir seperti saya. Toh
kendaraan pribadi tetap merajalela. Busway lengang , jalanan padat. Padahal isi
mobil-mobil itu paling banyak dua atau tiga orang.
Lihat saja, di Sudirman, jalur lambat adalah jalur neraka.
Kecepatan satu kilometer per jam pun gak sampai. Jalur cepat masih agak
lumayan, bisa lah mobil melaju sampai 30 kilometer perjam. Busway lancar jaya
(cuma di koridor I, koridor lain jalur masih ga steril dan busnya sedikit).
Tapi hujan berarti pengecualian. Mobil-mobil biasanya masuk
jalur busway, akibatnya bus ikut mandek. Saya pernah mengalami naik busway dari
Sarinah hingga Bundaran HI (hanya berjarak dua halte) dalam waktu hampir satu
jam. Rasanya mau nangis, mau maki-maki orang yang naik mobil itu.
"Saya sudah berusaha tidak menambah kemacetan dengan
naik kendaraan umum. Kenapa jalan saya masih diembat juga sementara kalian naik
mobil berAC, bisa setel lagu, duduk dengan nyaman, tetap cantik, ganteng, dan
wangi begitu sampai tujuan? Terus kalau macet gara-gara kalian saya harus tetap
kena getahnya?!" Kira-kira pingin ngomel seperti itulah.
Yah, kalau menurut pengamat Masyarakat Transportasi
Indonesia, Danang Parikesit, perjalanan dengan kendaraan pribadi itu gak
efektif. Jalan penuh mobil tapi manusia yang terangkut hanya sedikit. Pengamat
lainnya juga berpendapat serupa.
Saya tambah ngomel. "Pada ketinggian gengsi nih
orang-orang yang naik mobil pribadi." (Plus omelan-omelan lainnya).
Tapi lalu saya naik kendaraan umum lagi.
Ketemu preman berkedok pengamen.
Ketemu copet.
Kena macet di bus non-AC dengan posisi akrobatik karena
terjepit.
Naik kereta, sering telat atau mogok lalu penyet saking
penuhnya .
Turun angkutan, jalan di trotoar, ngomel lagi karena penuh
pedagang, rusak, jadi tempat parkir atau dikuasai motor.
Lalu meratapi nasib.
Terus saya jadi mikir: Mungkin memang pejalan kaki dan
pengguna angkutan umum itu warga negara prioritas paling akhir di negara ini.
Makanya kalau punya uang lebih sedikit, langsung pengen kredit motor atau
mobil. Supaya naik kasta.
Nah kan, ngomel lagi. :'D
Ps: tulisan ini dibuat selama 1 jam 20 menit.
Jarak tempuh: Bendungan Hilir-Dukuh Atas pakai bus.
Disambung kereta menuju Bogor, dan baru sampai Depok.
*tarik napas buang napas*
Komentar
Posting Komentar