Tentang Mama


Jangan berani-berani bilang ga mirip! :P


Baru nulis dua kata tapi mataku sudah berkaca-kaca siap banjir air mata. Huaaa… aku baru baca tweet salah seorang penulis tentang Ibu. Betapa mereka sebenarnya orang yang paling berjasa dan menyayangi kita  tetapi sering terlupakan dibalik sejuta alasan. Sibuk, banyak tugas, sampai agenda-agenda pergaulan yang sebetulnya remeh -temeh.

Tweet mbak Alberthiene Endah itu langsung menusuk hati gue *ini-emang-lebay-tapi-serius* karena memang benar adanya. Contohnya simpel. Kemarin saya berniat mau ikutan proyek #dearmama yang dibuat oleh @nulisbuku. Tapi tinggal sebatas niat, karena selepas deadline, tulisannya—satu huruf pun belum saya ketik. Padahal saya ingin tulisan pertama saya yang dipublikasikan itu tentang Mama. Saya langsung merasa sangaaaat bersalah karena menjadikan mama prioritas kesekian dibandingkan deadline terjemahan naskah serta mengajar.  

“Kita tak tahu betapa sepinya perasaan Ibu yang menjadi penonton bagi kesibukan anak-anaknya tanpa pernah mendengar cerita kita” begitu tulis Mbak Alberthien.. JLEB. Tepat banget.
Jadi, meskipun deadline sudah lewat untuk proyek #dearMama, biarlah postingan blog kali ini saya dedikasikan untuk mama. Judulnya Surat Untuk Mama.

"Mamaku yang cantik, awalnya aku kira menulis surat tentangmu yang masih ada tidak akan menguras air mata seperti saat aku membaca surat dari seorang teman tentang mamanya yang sudah lama tak ada di dunia. Ternyata salah, belum juga menulis pipiku sudah ditetesi air mata.

Mama, maafkan Anggi ya karena selama ini seringkali tidak sadar betapa Mama adalah orang yang menyayangi Anggi tanpa syarat, dalam keadaan apapun. Mama adalah satu-satunya orang yang mau masuk ke kamar Anggi saat kemarin sakit campak dan berbagi makanannya tanpa takut ketularan. Padahal saat itu Anggi lagi pengen-pengennya menghabiskan sebanyak mungkin waktu dengan keluarga sebelum mulai bekerja dan punya kesibukan yang menguras waktu. Aku pengen memeluk semua orang, banyak bercanda, berkumpul di ruang keluarga, nonton Sule atau apapun itu asalkan sama-sama. Tapi sayang si virus morbili itu membuat aku harus dikarantina. Cuma Mama yang nggak takut ketularan. You beat the virus Mom, for my sake. You don’t know how much it means to me J.

Mama juga satu-satunya orang yang bisa mengerti kebingungan Anggi saat memutuskan akan menerima kerjaan sebagai jurnalis atau tidak. Mama pasti sebenarnya berat merelakan aku menerima kerjaan yang memiliki tuntutan tinggi dan mengharuskan aku untuk tinggal di Jakarta. Teman ngerumpi mama kalau di rumah kan cuma aku, hehehe :P.  Tapi mama mengerti bahwa itu cita-cita Anggi sejak dulu, menolak sama saja membuang mimpi yang tinggal selangkah lagi jadi nyata. Restu Mama-lah yang pada akhirnya membuat Anggi yakin bahwa jalan yang kupilih itu benar. Insya Allah.

Mam, rasanya beraaat sekali kalau aku mikir harus ngekos. Membayangkan mama sendirian masak, ngurus rumah, walaupun sebenarnya aku juga nggak banyak bantu waktu di rumah. Mama bangun jam 4 subuh supaya bisa masak dan adik-adik bisa bawa bekal ke sekolah. Aku belum bangun. Mama malah nggak pernah maksa aku bangun pagi-pagi buta buat nemenin Mama masak.

“Mama kan tahu aku kalau tidur kaya binatang ditembak obat bius, nggak ingat apa-apa. Bangunin aja Ma,” begitu kataku.

Tapi mama malah balik meledek dan menjawab “Ah, lebih capek mbangunin kamunya.” Sambil tertawa.

Mama. Aku sayang Mama!!
Maaf dulu aku suka meledek mama yang setiap hari menelepon waktu aku kos, cuma untuk cerita mama masak apa hari ini.  Padahal telepon mama itu bikin aku kangen betul sama rumah dan suasananya yang hangat. Belum lagi masakan mama yang nggak bisa dibandingin sama makanan warteg. Bikin aku pengen pulang terus.

Maaam, biarpun kita sekeluarga suka ledekin cara jalan mama yang-kata papa-“timik-timik” dan perangai mama yang bagaikan putri keraton, sesungguhnya mama adalah role model aku sebagai perempuan. Mama pintar, mama bekerja, mama juga perempuan yang sempurna: lembut, pintar masak, santun, sayang keluarga. Mama meletakan standar yang tinggi banget buat aku. Biarpun kadang narsis, mama tetap idolaku nomer satu. Makanya aku sebel banget kalau ada yang bilang aku nggak mirip mama. Hehehe.

Aaah, pokoknya aku sayang mama. Segini dulu ya suratnya, aku harus kembali mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk gara-gara penyakitan. Hihihi.
Nanti sore kita ngerumpi kaya biasa ya Ma J.
Peluk cium,
Anggi"

Komentar

  1. aziiik. ayo kirim masih ampe tgl 4 loh

    BalasHapus
  2. *kraaay*
    kira2 ntar anak gw nulis gini ga ya buat gw *mulai kawatir*

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer