Jakarta Oh Jakarta
Mungkin judul postingan ini terlihat klise. Kesannya tulisannya nanti akan semendayu-dayu acara Oh Mama Oh Papa yang penuh air mata itu ga sih? (hayooo, siapa yg masih inget? :P)
Sebenernya, gue cuma mau menulis opini gue tentang kota yang jadi magnet buat-katakanlah- sebagian besar penduduk Indonesia. Gue juga ga ngerti kenapa banyak banget orang pingin hijrah ke Jakarta.
Intinya, hampir seluruh usia gue di dunia ini gue jalani di pinggiran kota metropolitan ini. Dari kecil gue terbiasa bolak-balik Jakarta-Bogor untuk beraktivitas. Gue sangat terbiasa dengan penampakan kota ini, yang macet, penuh polusi, biangnya kriminalitas, dan sebagainya. Dan sebagainya.
Menurut gue hal yang gue lihat sehari-hari di Jakarta itu sangat normal. Setidaknya sampai satu bulan yang lalu. Gue pergi ke kota lain dan merasakan kehidupan lain di Jakarta, bukan untuk liburan.
Satu bulan yang lalu gue mendapat kesempatan untuk mengunjungi pulau seberang, yang katanya luar biasa eksotis. Bali.
Yap. Itu adalah pengalaman pertama gue menginjakkan kaki di pulaunya para dewa (bener ga?). Sendirian- dengan modal nekat, duit seadanya, dan tekad membara untuk mendapat pengalaman baru :D--sampailah gue disana.
Gue harus bilang, kenekatan gue berbuah manis. I got a life changing experience.
Di sini gue tidak akan bercerita banyak soal pengalaman gue di sana. Itu lain kali aja ya : ). Kali ini gue ingin fokus ke perbandingan antara Bali dan Jakarta. Tepatnya antara Ubud dan Jakarta-the-mighty-city.
1. Di Ubud gue merasa waktu berjalan. Sementara di Jakarta waktu berlari. Sangat cepat. Sampai kita kehabisan napas dan megap-megap setiap harinya. Orang-orang disana terlihat lebih bahagia dan tidak stress. Gue juga ga tahu sebenarnya apa yang kita kejar di Jakarta. Uang? Karier? Penghidupan? Kebahagiaan?
Pertanyaannya: kebahagiaan seperti apa yang kita kejar di Jakarta?
2. Di Ubud, gue bisa mengobrol seru dan beramah-tamah dengan orang yang baru gue kenal beberapa menit lalu. Awalnya gue berpikir "mungkin gue yang terlalu pemalu atau cuek kalo ketemu orang di Jakarta", tapi kemudian gue mempraktekan keramah-tamahan yang sama di setting acara serupa di Jakarta. Hasilnya: orang itu kelihatan terburu-buru sekali. Banyak banget urusannya.
3. Ubud adalah surga buat orang yang cinta jalan kaki seperti gue (ditambah tiadanya angkutan yang memang membuat gue harus sering2 jalan kaki :D). Di Jakarta? Duh, mikirin berapa banyak asap knalpot yang bakal kita hirup aja udah bikin sesak napas. Belum lagi abang-abang yang bertebaran di mana-mana dan suka banget nyeletuk, "Neng, buru-buru banget Neng.. Mau kemana sih Neng?" Mengganggu keamanan dan keamanan gue berjalan kaki.(Padahal muka gue ga secantik itu untuk digodain. Kebayang deh kalo muka gue secantik Angelina Jolie. haha. :P).
4. Jakarta itu ga sopan. Gue masih ingat bagaimana gue bertualang di rimba beton Jakarta untuk daftar beasiswa ke daerah Kuningan. Permintaan gue untuk diturunin di jembatan penyeberangan tidak diindahkan oleh supir mikrolet, dengan alasan "di depan jalannya lebih deket Dek."
Karena loncat dari mikrolet itu berbahaya, jadilah gue terpaksa menggadai nyawa menyeberangi jalan arteri bukan pada tempatnya. Banyak banget mobil dengan kecepatan tinggi berseliweran. (Gue sempet 10 menit kebingungan sebelum akhirnya nyebrang bareng ibu2 jagoan, yang sudah banyak makan asam garam nyebrang jalan arteri).
Pernah juga, sekali waktu gue mau ke Pasar Rebo untuk naik bis ke Bogor, dengan polosnya gue pun naik mikrolet yang supirnya bilang lewat Ps. Rebo. Ternyata mikroletnya naik jembatan layang Pasar Rebo, sementara bis jurusan Bogor menunggu dengan manis di bawah jembatan layang. Padahal gue udah bilang ke abangnya gue mau naik bis ke Bogor -___-".
"Pelajarilah rute angkot di Jakarta dengan lebih tekun, Nak..", kata Ibu Guru di dalam kepala gue.
5.Salah satu teman gue di pulau seberang berani meninggalkan pekerjaannya yang udah settle demi menekuni kecintaannya di bidang fotografi. Menurut gue itu hebat. Tapi kayanya kalau itu dilakukan di Jakarta, rata-rata orang akan menaikkan sebelah alisnya dan bilang, "Yakin?"
Kesimpulannya, setelah balik lagi ke Jakarta, gue ga lagi merasa ritme hidup di Jakarta itu normal. Kota ini keras, sangat-sangat keras, dan sepertinya memang orang-orang di sini dituntut untuk jadi keras juga untuk bisa bertahan.
Gue jadi ngeri.
Dan Ibu Guru di otak gue pun berkata, "Bersyukurlah kamu menjalani hidup yang damai teman-temanku di seberang."
Menurut kamu gimana?
Jangan-jangan tulisan ini terjebak dalam subjektivitas gue karena rumput tetangga selalu lebih hijau? *Nah loh.
Sebenernya, gue cuma mau menulis opini gue tentang kota yang jadi magnet buat-katakanlah- sebagian besar penduduk Indonesia. Gue juga ga ngerti kenapa banyak banget orang pingin hijrah ke Jakarta.
Intinya, hampir seluruh usia gue di dunia ini gue jalani di pinggiran kota metropolitan ini. Dari kecil gue terbiasa bolak-balik Jakarta-Bogor untuk beraktivitas. Gue sangat terbiasa dengan penampakan kota ini, yang macet, penuh polusi, biangnya kriminalitas, dan sebagainya. Dan sebagainya.
Menurut gue hal yang gue lihat sehari-hari di Jakarta itu sangat normal. Setidaknya sampai satu bulan yang lalu. Gue pergi ke kota lain dan merasakan kehidupan lain di Jakarta, bukan untuk liburan.
Satu bulan yang lalu gue mendapat kesempatan untuk mengunjungi pulau seberang, yang katanya luar biasa eksotis. Bali.
Yap. Itu adalah pengalaman pertama gue menginjakkan kaki di pulaunya para dewa (bener ga?). Sendirian- dengan modal nekat, duit seadanya, dan tekad membara untuk mendapat pengalaman baru :D--sampailah gue disana.
Gue harus bilang, kenekatan gue berbuah manis. I got a life changing experience.
Di sini gue tidak akan bercerita banyak soal pengalaman gue di sana. Itu lain kali aja ya : ). Kali ini gue ingin fokus ke perbandingan antara Bali dan Jakarta. Tepatnya antara Ubud dan Jakarta-the-mighty-city.
1. Di Ubud gue merasa waktu berjalan. Sementara di Jakarta waktu berlari. Sangat cepat. Sampai kita kehabisan napas dan megap-megap setiap harinya. Orang-orang disana terlihat lebih bahagia dan tidak stress. Gue juga ga tahu sebenarnya apa yang kita kejar di Jakarta. Uang? Karier? Penghidupan? Kebahagiaan?
Pertanyaannya: kebahagiaan seperti apa yang kita kejar di Jakarta?
2. Di Ubud, gue bisa mengobrol seru dan beramah-tamah dengan orang yang baru gue kenal beberapa menit lalu. Awalnya gue berpikir "mungkin gue yang terlalu pemalu atau cuek kalo ketemu orang di Jakarta", tapi kemudian gue mempraktekan keramah-tamahan yang sama di setting acara serupa di Jakarta. Hasilnya: orang itu kelihatan terburu-buru sekali. Banyak banget urusannya.
3. Ubud adalah surga buat orang yang cinta jalan kaki seperti gue (ditambah tiadanya angkutan yang memang membuat gue harus sering2 jalan kaki :D). Di Jakarta? Duh, mikirin berapa banyak asap knalpot yang bakal kita hirup aja udah bikin sesak napas. Belum lagi abang-abang yang bertebaran di mana-mana dan suka banget nyeletuk, "Neng, buru-buru banget Neng.. Mau kemana sih Neng?" Mengganggu keamanan dan keamanan gue berjalan kaki.(Padahal muka gue ga secantik itu untuk digodain. Kebayang deh kalo muka gue secantik Angelina Jolie. haha. :P).
4. Jakarta itu ga sopan. Gue masih ingat bagaimana gue bertualang di rimba beton Jakarta untuk daftar beasiswa ke daerah Kuningan. Permintaan gue untuk diturunin di jembatan penyeberangan tidak diindahkan oleh supir mikrolet, dengan alasan "di depan jalannya lebih deket Dek."
Karena loncat dari mikrolet itu berbahaya, jadilah gue terpaksa menggadai nyawa menyeberangi jalan arteri bukan pada tempatnya. Banyak banget mobil dengan kecepatan tinggi berseliweran. (Gue sempet 10 menit kebingungan sebelum akhirnya nyebrang bareng ibu2 jagoan, yang sudah banyak makan asam garam nyebrang jalan arteri).
Pernah juga, sekali waktu gue mau ke Pasar Rebo untuk naik bis ke Bogor, dengan polosnya gue pun naik mikrolet yang supirnya bilang lewat Ps. Rebo. Ternyata mikroletnya naik jembatan layang Pasar Rebo, sementara bis jurusan Bogor menunggu dengan manis di bawah jembatan layang. Padahal gue udah bilang ke abangnya gue mau naik bis ke Bogor -___-".
"Pelajarilah rute angkot di Jakarta dengan lebih tekun, Nak..", kata Ibu Guru di dalam kepala gue.
5.Salah satu teman gue di pulau seberang berani meninggalkan pekerjaannya yang udah settle demi menekuni kecintaannya di bidang fotografi. Menurut gue itu hebat. Tapi kayanya kalau itu dilakukan di Jakarta, rata-rata orang akan menaikkan sebelah alisnya dan bilang, "Yakin?"
* * *
Kesimpulannya, setelah balik lagi ke Jakarta, gue ga lagi merasa ritme hidup di Jakarta itu normal. Kota ini keras, sangat-sangat keras, dan sepertinya memang orang-orang di sini dituntut untuk jadi keras juga untuk bisa bertahan.
Gue jadi ngeri.
Dan Ibu Guru di otak gue pun berkata, "Bersyukurlah kamu menjalani hidup yang damai teman-temanku di seberang."
Menurut kamu gimana?
Jangan-jangan tulisan ini terjebak dalam subjektivitas gue karena rumput tetangga selalu lebih hijau? *Nah loh.
heyaahhh itu dia yang gw rasain juga pas ke jogja. gw sampe mikir apa ntar gw tinggal di jogja aja yak. gw muak karena pejalan kaki sengasara di jakarta. hahahaha.
BalasHapusaih pantesan kemaren deg2an banget ternyata baru pertama kali(dan sendirian). gw juga kalo jd lo deg2an sampe jantung mau keluar. hahahaha. gw jg blom pernah ke bali soalnya.
emaaaang dach. nekat banget gue. hahaaa. tapi lo harus nyoba deh pergi sendirian gitu. enak banget! :D
BalasHapusbebas mau ngapain, banyak kenalan baru, bahkan lo bisa jd orang yg sama sekali baru. Ga ada label yg terlanjur nempel "oh si ini kalem" atau "oh si itu manis" dsb. hohoho
pindah nggi. pindah.
BalasHapusgue pun mau kawin aja sama si omo terus mudah2an bisa pindah ke luar kota. hahaha.
jakarta udah gila. lo ngga salah sangka.
macet. banjir. kotor. kasar. keras.
keliatannya mighty. metropolitan, megapolitan even. tapi sebenernya bobrok. gadung-gedung tinggi yang ada di jakarta sebenernya cuma kompensasi buat kebobrokan yang mengakar di sana. wuah.
pindah.pindah.pindah. (gue serius. i hate jakarta)