Pak, Bu, Intip IMDB Dulu Yuk Sebelum ke Bioskop

"Mbak Anggi, itu apa-apaan sih film Catching Fire?! Ngapain ada yang bikin film bunuh-bunuhan kaya gitu? Dan yang nonton banyak anak-anak!"



Suatu hari, tante saya tiba-tiba ngomel. Dia gak tahu Catching Fire itu film apa. Tapi, setelah teman-temannya sesama ibu pada ngomel karena anaknya nonton film sadis, 'adu manusia' kata dia, si Tante pun ikut panik.

Sebelum menulis lebih jauh, saya harus bilang kalau saya memang suka trilogi The Hunger Games. Dibanding genre novel dewasa-muda macam Twilight (yang isinya cuma cewek jatuh cinta sama vampir dan ga punya kehidupan lain selain obsesinya sama si vampir berkilau), Hunger Games, buat saya, punya cerita yang jauh lebih dalam dan kuat.

Saya suka bagaimana kisah tentang Panem, Capital, dan 12 distrik yang melarat itu terasa seperti simbol. Panem dan presidennya yang diktator, yang cuma memikirkan diri sendiri ketimbang rakyatnya. Capital, ibu kota yang megah tapi njomplang dengan distrik sekitar. Dan favorit saya, warga Capital yang digambarkan tajir melintir tapi dangkal. Makan minum dari piring emas tanpa sadar hidup mereka ditopang sama orang-orang melarat yang kerja keras. Belum lagi dandanan mereka yang selangit tapi norak. Mungkin menggambarkan sekelompok sosialita yang tantangan tersulitnya adalah "Dapat Hermes incaranku bulan ini ga ya?" (:P)
Padahal ada orang-orang yang buat makan besok saja belum tentu ada uangnya.

Belum lagi reality show The Hunger Games itu sendiri di mana industri televisi jadi alat propaganda. TV jadi semacam kotak ajaib yang bisa memprogram pikiran penduduk Panem. To show them what's hot and what's not, semacam itulah. Ditambah  host Cesar Flickerman (dimainkan dengan apik oleh Stanley Tucci) yang jago memainkan suasana interview. Please, gantiin aja gengnya Olga, Om!

Ya, cerita Hunger Games memang bukan buat anak-anak. Pertanyaannya, kok bisa anak tante saya dan teman-temannya nonton film itu? Jawaban paling gampang, memang dengan nyalahin promosi film yang gencar. Padahal namanya juga industri, tentu saja mereka pengin meraup duit kita sebanyak-banyaknya.

Tapi, Bapak dan Ibu, pernahkah kalian buka Internet Movie Data Base a.k.a IMDB sebelum mengizinkan atau mengajak anak ke bioskop? Saya yakin bapak-bapak dan  ibu-ibu masa kini sudah lancar berinternet, setidaknya buat hal basic seperti browsing atau update media sosial. Apalah susahnya Googling nama film dan buka situs IMDB yang biasanya muncul di hasil pencarian teratas?
Di situ ada sinopsis, rating usia, dan parental advisory yang memberi tahu detail film, dari mulai adegan sadis, kata-kata kasar, sampai adegan intim.


So, parents, please, take just a little of your time to check whether it's proper for your kids or not. 


Jangan cuma bisa marah-marah setelah anaknya nonton film yang ga seharusnya untuk mereka.
Jangan juga ga peduli seperti sepasang orang tua yang membawa tiga anaknya yang masih kecil nonton filmPrisoners-nya Hugh Jackman dan Jake Gyllenhaal. Anak yang paling kecil, mungkin masih berumur 5-6 tahun, teriak-teriak ketakutan sepanjang film. Film itu bagus, tapi sadis, bahkan buat saya yang biasa liputan kriminal.

Dan tahu apa yang dilakukan si ibu? Menyogok anaknya yang paling kecil dengan beliin popcorn, lalu melanjutkan nonton, dan si anak pun lanjut teriak-teriak ketakutan. Haduh. 



Cheers, 

Anggi



Komentar

Postingan Populer