Luntur
credit to Google |
Saya ingin bercerita tentang seorang gadis. Indira namanya. Ketika kecil dia suka sekali membaca, terutama cerita-cerita petualangan. Salah satu pengarang favoritnya adalah Enid Blyton yang menulis cerita Lima Sekawan.
Supaya tak terlalu badung, Mama Indira membelikannya seri novel Rumah Kecil di Padang Rumput. Katanya, supaya Indira jadi anak yang manis karena gadis-gadis di dalam buku itu rajin. Maksud Mama mungkin Mary yang penurut dan suka membantu Ma di rumah. Indira memang jadi lebih rajin membantu Mama seperti Mary, paling tidak mencuci piring. Tapi celaka, dia lebih suka Laura yang selalu ingin tahu dan kadang-kadang celaka karenanya.
Tak lama, datanglah Paman Indira yang baru selesai kuliah di Australia. Dia mengenalkan Indira pada komik Tintin. Segera saja gadis kecil itu jatuh cinta pada wartawan Belgia dan anjingnya Snowy.
"Hebat sekali mereka bisa memecahkan misteri dan berkeliling dunia," pikir Indira kecil. Dia juga ingin seperti Tintin yang bisa jalan-jalan ke Mesir, Inggris, Amerika, Kongo, India, dan Cina. Bahkan Tintin yang orang Belgia itu juga sempat ke Indonesia!
"Aku juga mau jadi wartawan!" kata gadis itu dalam hati.
Tahun demi tahun lewat. Indira tumbuh jadi remaja. Di sekolah, dia paling suka pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Setelah lulus SMA, Indira lalu sengaja kuliah di jurusan pilihannya.
"Jurnalistik. Pokoknya kalau tahun ini tidak masuk ya aku coba lagi tahun depan. Tidak mau yang lain," kata Indira saat Mama bertanya kenapa Indira tidak mencari tempat kuliah cadangan seperti teman-temannya. Mama yang lembut hanya bisa berdoa semoga Indira diterima. Anaknya itu memang keras kemauannya.
Untung Indira tak hanya mau, tetapi juga mampu. Nilainya di kampus selalu bagus. Dia lulus dengan nilai A.
Di awal usia 20an, Indira akhirnya bekerja. Jadi wartawan betulan, seperti Tintin. Media yang merekrutnya juga punya nama. Bergengsi.
Papa tidak setuju. Tapi Mama bilang iya (walaupun berat). Mama tahu ini cita-cita Indira sejak dia berkenalan dengan Tintin si wartawan berjambul.
Satu tahun pertama, Indira bahagia. Tugas apapun dia kerjakan. Indira harus bisa membuktikan bahwa dirinya memang pantas jadi wartawan.
Tak sia-sia juga Indira rajin berlatih Bahasa Inggris. Kalau ada wawancara dengan duta besar atau tamu asing, Indira kerap dibawa serta. Tak apa-apalah untuk sementara dia selalu jadi tukang transkrip.
Semua ada fasenya, sabar saja. Indira menyabarkan hati.
Begitu juga saat Indira diminta membuat wawancara khusus dengan Pak Ini atau Bu Itu. Dia kejar sampai dapat. Kadang kalau gagal Indira ingin menangis karena kesal sendiri. Masak begitu saja tidak bisa?
Tetapi ada juga saatnya ketika wartawan yang lebih senior tetap mewawancarai narasumber Indira dengan pertanyaan yang sudah diajukan Indira kemarin. Indira si tukang transkrip tetap dibawa. Mereka tidak percaya.
Tahun kedua pun datang. Masa bulan madu Indira di tempat kerja mungkin sudah selesai.
Dia mulai bertanya-tanya.
Kenapa kantor suka sekali narasumber A?
Kenapa kalau di lapangan menemukan fakta A, kantor ingin fakta A minus?
Kenapa bos besar ikut forum amplop? Amplop yang katanya barang haram itu?
Kenapa pertanyaan kantor kadang sok tahu?
Kenapa kantor suka sekali minta isu seksi padahal masih ada isu-isu yang lebih esensial?
Kenapa? kenapa? kenapa???
Sampai suatu hari Indira tiba di rumah. Malam sudah lewat separuh jalan. Indira kelelahan dan langsung tertidur di sofa ruang keluarga.
Besoknya, Indira duduk di meja makan setelah mandi dan sikat gigi.
"Capek ya Nduk?" Mama berujar lembut.
Indira nyengir sambil mengunyah sarapannya.
"Kayaknya sudah cukup deh kamu cari pengalaman kayak begini..."
Indira tidak bisa menjawab. Tidak berani. Dia hanya meneruskan mengunyah nasi goreng yang kelezatannya kini menurun tiga tingkat.
Mama sudah memberi lampu merah. Otaknya sendiri juga sudah memberi kode, lampu kuning sedikit lagi merah.
Tenggorokan Indira rasanya tercekat.
Dia tidak punya stok pembelaan lagi. Keyakinan atas cita-citanya sendiri sudah luntur. Menetes-netes seperti sisa air di cucian yang menggantung di halaman samping rumahnya.
Selasa, 23 Juli 2013.
Ditulis selama 95 menit perjalanan menuju Ibu Kota.
Ngejar cita-cita tuh mungkin kaya nikah kali ya? Waktu udah tercapai, taun-taun awal, rasanya indah. Abis itu, siapa bilang mudah? (padahal blom ngerasain nikah, cuma "kata orang" hahaha)
BalasHapusIndira Desyani Cahyaningtyas?
BalasHapus